saya dan suami : landek |
Tidak pernah terbayangkan kalo saya akan menikah dengan lelaki bermarga yang beda dengan saya. Penyatuan dua suku yang sangat bertolak belakang. Saya adalah perempuan suku padang dengan kampung pariaman, dan suami suku karo dengan marga Sebayang. Kami menikah sesuai syariat Islam yaitu laki laki yang meminang perempuan. Karena kalo mengikut suku pasti bakal ribet karena dua duanya dominan (tau kan kalo di padang perempuan yang merajai sementara di suku karo laki laki yang menjadi panutan). Banyak orang mengira bahwa Karo itu adalah Batak. Padahal mereka jelas terpisah. Banyak juga orang Karo yang muslim. Karo ya karo, Batak ya batak. Dulu saya sempat berpikiran begitu juga, setelah mengenal suku karo barulah saya mengerti.
Saya jatuh cinta dengan lelaki ini. Lelaki yang dengan kebersahajaannya mampu mengikat saya yang terlalu banyak cita cita. Lelaki yang apa adanya yang mampu mengimbangi saya yang begitu ingin terus melangkah dan penuh kejutan. Lelaki yang bisa membuat saya tertawa kencang hanya dengan humor receh dan kami dengan senang hati membahas hal remeh temeh sampai berjam jam. Lelaki yang sayang sama saya biarpun tidak romantis tapi perhatian kecilnya menurut saya udah romantis.
Kami sudah berpacaran lebih dari 7 tahun dan bisa dikatakan backstreet. Karena keluarganya termasuk yang belom bisa menerima kehadiran suku lain untuk menjadi bagian mereka. Orang tuanya punya alasan tersendiri dan saya menghargai karena saya tau sang Ibu merasa siapapun belom pantas untuk berdampingan dengan anaknya. Banyak calon yang telah diajukan kepada suami saya dahulu, tapi belom ada yang sreg. Sampai kami berani untuk go public ke orang tuanya setelah 7 tahun pacaran. Alhamdulillah saya diterima di keluarganya dan mematahkan steriotip tentang orang padang yang begini begitulah. Taun berikutnya kami pun melangsungkan acara lamaran dan beberapa bulan kemudian menikah. Banyak step step yang dilalui untuk sampai ke jenjang pernikahan. Seperti penabalan marga, Mbaba Belo Selambar yaitu acara meminang perempuan di adat Karo
Karena menikah dengan lelaki Karo maka saya harus punya marga juga supaya secara adat sudah sah. Saya punya marga Tarigan mengikut ibu mertua. Ketika melangsungkan pernikahan secara adat, saya harus belajar menari dan menyanyi untuk acara resepsi adat karo. Ini diperlukan karena nanti ketika kami Landek didepan semua orang di Jambur maka semua orang akan memberi saweran begitu istilah umumnya yang diletakkan di kotak dan nanti akan diperhitungkan malamnya didepan keluarga untuk kami nanti. Saya belajar selama seminggu untuk acara adat ini. Mulai menghapal lagu dan membawakannya sambil menari.Lagunya sendiri saya yang pilih yaitu Biring Manggis karena sesuai dengan suami saya. :D
Ternyata yang namanya resepsi adat Karo itu bener bener capek karena dari pagi-sore kita akan berdiri mendengarkan beberapa petuah dari beberapa tetua marga yang mendoakan pernikahan kita dan mereka akan memberikan hadiah buat pengantinnya. Bener bener hal baru buat saya begitupun keluarga. Kalo kata suami kegiatan pas acara adat itu semuanya sakral dan penting. Tidak boleh ada yang terlewat. Acara di Jambur itu terpisah antara bagian umum dan bagian khusus Karo nya. Makannya pun berbarengan semuanya dan panitia yang menyukseskan acara adalah bagian keluarga penting juga kalo gak salah istilahnya Kalimbubu. Beberapa istilah ini saya masih awam dan masih pengen tau lebih banyak biar nanti kedepannya gak malu maluin. Alhamdulillah yang datang ke nikahan kami banyak dan insya Allah banyak yang mendoakan. Setelah itu malamnya masih ada lagi acara yaitu perhitungan biaya secara adat secara detail yang dalam istilah nya adalah Ertatak. Ini merupakan prosesi terakhir sebelum ditutup dengan makan malam bersama.
Culture shock ini membuat saya banyak sekali belajar dan sempat gagap untuk membaur di tengah keluarga mereka. Keluarga saya termasuk keluarga yang pada umumnya, jadi begitu masuk ke keluarga karo yang masih kental budayanya bikin saya harus belajar lagi tentang sopan santun. Ini benar. Saya harus pakai sarung jika datang ke kampung suami, tidak bisa berbicara langsung kepada mertua laki laki, dan belajar menyebutkan panggilan yang benar untuk keluarga yang saya temui. Seperti bibik, kila, laki, tigan, kakak, opong, dan sebagainya. Tapi jujur sampai sekarang saya belom bisa bahasa karo. Makanan khas nya juga juara yaitu gulai arsik ikan mas. Apalagi kalau dibikinkan oleh mertua laki saya, juara enaknya.
Saya pun langganan ke kampung suami yang jaraknya dari Medan 4 jam. Desa gunung Tiga binanga. Perjalanan ke kampung bikin saya sumringah karena saya tau kami akan melewati Kaban Jahe yang mempunyai kedai kopi enak dan roti bakar syahdu yaitu Kopi IO. Apalagi dengan cuaca yang dingin yang bikin betah disitu. Nanti saya tulis di blog lebih lengkapnya soal Kedai kopi IO ini ya di bagian terpisah. Setiap pulang ke kampung suami semacam pergi ke tempat yang enak buat bersantai dan mengenal bagaimana hidup disana. Suasananya sangat pedesaan dengan rumah pannggung dan Los untuk mengadakan acara. Cuacanya sejuk dingin dengan sungai yang jernih. Benar benar melepas penat.
Nanti saya akan buat post lagi tentang Desa gunung Tiga binanga ya.